Bab 24
Bab 24
Bab 24
a . “Pancen Gudan, Sudili berapa lama mereka
Selain terkejul, Samara beitanya berdua mojok makan?”
“Sepertinya dari kemarin sore, mereka tidak makan malam. Dan sekarang sudah hampir seharian, Tuan kecil dan Nona Kecil benar-benar tidak makan sebutir nasi pun, bahkan mereka juga jalanji minum air..” Suara Pak Michael terdengar sangat panik.
Sudah hampir seharian tidak makan, mana boleh seperti itu?
Samara mengernyitkan keningnya dan bertanya: “Lalu dimana kla? \pa dia tahu kedua anaknya mogok makan?”
“Tuan Muda tahu, tapi dia….”
“Dia bilang apa?!”
Pak Michel menjawab dengan enggan dari balik telepon: “Dia bilang waktu pertemuannya sudah ditetapkan, sekali dalam sebulan, jadi harus dituruti, tidak boleh selalu menuruti mereka Kalau mereka mau mogok makan. Silalikan saja, kalau mereka lapar dan tidak tahan, mereka akan makan dengan sendirinya, kalau pingsan, tinggal panggil dokter untuk menyuntikkan vitamin,”
Samara tercengang, dan dalam sekejap merasa kalau Asta, pria ini benar-benar hewan yang Sangat berdarah dingin.
Oliver dan Olivia masih kecil, mana boleh tidak makan seharian?
Dan kalau mereka pingsan, tinggal disuntikkan vitamin?
Wah benar-benar! Kenapa langit bisa mengizinkan orang seperti dia menjadi seorang ayah!
“Pak Michal, saya akan kesana sekarang ***
Setelah menutup telepon, Samara berbalik dan lielapan dengan Timothy dan Peter
“Adunun mendesak, Mya pergi dulu leter baru bergabung dengan perusahaan kita, Timothy kamu halus membantunya dalamnyilah penelitian dan pengembangan.”
Tidak menunggu jawaban dari Timothy, Samara langsung keluar dengan tergesa-gesa dari wrdung peiuvaan, dan m enasi menuju kediaman keluarga Costan
Kediaman keluarga Con
Samara membayar ongkos taksi, dan saat dia baru sampai didepan pintu pagar, wajah Pak Michal sudah berseri-seri.
Pak Michal sudah mondar-mandir sejak tadi, dan setelah melihat Samara, sepasang matanya seolah bercahaya.
“Nona Samara, terima kasih sudah bersedia mampir. Saya benar-benar takut kalau saya yang hanya pengurus rumah tidak memiliki hak untuk memintamu kesini…”
“Tidak masalah, apa kamu bisa membawaku menemui mereka lalu minta juru masak kalian untuk menyiapkan bubur yang mudah dicerna.”
“Baik.”
Di kamar di lantai dua.
Perut kecil Oliver sudah berbunyi karena lapar sejak tadi.
Olivia juga tidak jauh berbeda dengan kakaknya, tadi perutnya masih sedikit buncit, tapi karena lapar, perutnya seperti menyusut, dan dia cemberut.
“Olivia, kita bertahan sebentar lagi ya. Bagaimanapun kita adalah anak kandung ayah, dia tidak mungkin membiarkan kita mati kelaparan.”
Olivia menganggukkan kepalanya.
-Olivia, kita harus menunjukkan kepada ayah seberapa besar keinginan kita untuk bertemu dengan wanita itu.. Kalau kita menyerah sekarang, bukankah…perjuangan kita menahan lapar menjadi sia-sia?” Content provided by NôvelDrama.Org.
Olivia kembali mengangguk.
-Tapi, Olivia_baya wnu lapar”
Olivia tidak
berbudi. Tapi dia juga memegang perutnya sendiri, dan air mata bergulir dari
H
a ludua anak itu udah sangat teraniaya, tapi sul mereka saling menatap utusan lain tidak ada yang berinisial merajukan untuk berhenti
baliknya
dua buah mul au malah menemukan tekad dan keinginan untuk bertahan di
Dan saat mereka berdua sekarat, pintu kamar diketuk.
“Tok tok—-”
Oliver tahu pasti Pak Michael datang membujuk mereka untuk makan lagi, dia mendengus
“Tidak mau makan, tidak mau makan, jangan goda saya dan adikku dengan makanan, kami tidak mau makan! Kami akan makan setelah kami bertemu dengan wanita itu!”
Di depan pintu, Samara yang tadinya masih berpikiran kalau Pak Michal sedang melebih lebihkan perkataannya, seketika sadar saat mendengar ucapan Oliver yang bersikeras tidak mau makan.
Saat itu…
Hati Samara berdegup kencang
Dia tidak tahu kenapa dua anak ini begitu menyukainya, tapi dia sendiri juga merasakan hal yang sama.
Saat mendengar kedua anak ini mogok makan, dia langsung meninggalkan Peter dan Timothy lalu bergegas kemari.
Mungkin…
Dia menganggap mereka seperti sepasang anak kembarnya yang direnggut darinya?
Setelah menjernihkan pikirannya, Samara kembali mengetuk pintu.
“Kalian benar-benar tidak mau membuka pintu?”
“Kalau begitu. Sya pergi saja ya?”