Bab 38
Bab 38
Bab 38 Siasat Terakhir
Setelah menutup telepon, Alin masih sangat marah saat dia sedang mewarnai kukunya dengan warna merah. Penuh dengan kemarahan, dia menempelkan kuas ke kukunya.
Bahkan sampai detik ini, Alin masih ingat pertama kali dia bertemu Fabian.
Fabian selalu berpikir kalau pertemuan pertama mereka adalah saat acara makan-makan setengah tahun yang lalu. Namun, Fabian tidak menyadari fakta bahwa dia sudah bertemu. dengannya tiga tahun lalu.
Itu di Universitas Gandratama. Saat itu, dia dan teman-temannya mengunjungi Kota Bandung untuk bersenang-senang. Ayahnya menyuruh Alin membawakan beberapa barang untuk Vivin. Meskipun dia enggan melakukannya, dia tetap menuruti ayahnya karena dia perlu terlihat seperti anak perempuan yang patuh.
Saat itulah dia secara kebetulan melihat Vivin bersama dengan Fabian.
Dia masih bisa mengingat dengan jelas hari itu adalah hari yang cerah dan indah. Fabian sedang mengendarai sepeda, sedangkan Vivin duduk di belakangnya. Dia mengenakan blus putih, tampak seperti seorang pangeran yang datang dari negeri dongeng.
Saat dia menatapnya pertama kali, Alin langsung tertarik padanya.
Meskipun pertemuan itu sangat singkat, dan baik Vivin maupun Fabian mungkin tidak ingat tentang pertemuan itu, tetapi pertemuan itu terukir di dalam benaknya.
Setelah pulang ke rumah, dia dengan segera mempekerjakan seseorang untuk menyelidiki pacar saudara perempuannya itu. Baru kemudian dia mendapatkan sebuah kejutan besar.
Sangat mengejutkan, pacar Vivin, yang dia gambarkan sebagai mahasiswa miskin yang mengandalkan bantuan keuangan untuk kuliah, sebenarnya adalah cucu dari keluarga.
Normando!
Setelah mendengar hal ini, Alin merasa sangat senang! Content is property © NôvelDrama.Org.
Alin tahu bahwa seleranya pada pria, mustahil baginya untuk jatuh cinta pada pria yang miskin. Tentu saja, orang yang disukainya pasti pria yang luar biasa!
Sejak saat itu, dia bertekad untuk menikahi Fabian dan bukan orang lain.
Sayangnya, Fabian hanya memperhatikan Vivin.
Alin masih ingat saat-saat Vivin mengunjungi keluarga Manurung. Saat Vivin menerima telepon dari Fabian, selalu ada ekspresi bahagia yang memuakkan di wajahnya.
Sama halnya, ketika Vivin menyelinap ke Universitas Gandratama untuk sekedar memandang Fabian sebentar. Alin juga tidak pernah bisa melupakan wajah penuh kasih sayang Fabian setiap kali dia melihat Vivin.
Memang, dia harus mengakui bahwa Alin dipenuhi dengan kecemburuan.
Dia sebenarnya cemburu pada Vivin-putri keluarga Manurung yang kasar, tidak sopan, dan
tidak sah!
Meskipun Alin sangat membenci Vivin sejak mereka masih kecil, itu sebagian besar perasaan meremehkan. Itu karena Alin tidak pernah berpikir bahwa Vivin bisa dibandingkan dengannya.
Namun, tidak pernah dalam seumur hidupnya Alin membayangkan dirinya akan cemburu pada
Vivin.
Ini adalah awal dari kebenciannya pada Vivin.
Oleh karena itu, dia mengatur insiden yang terjadi dua tahun lalu. Tujuannya adalah untuk memaksa Fabian untuk tidak lagi mencintai seorang wanita yang kotor dan anak tidak sah itu lagi.
Alin selalu berpikir bahwa dia telah berhasil. Fabian putus dengan Vivin, kembali ke keluarga Normando dan pergi ke luar negeri ke Amerika-seperti yang selalu dilakukan oleh seseorang yang berasal dari keluarga kaya raya. Seperti yang direncanakan, dia bertemu dengannya di sana, mulai berkencan dengannya dan bahkan bertunangan.
Semuanya berjalan sesuai rencananya. Namun, ketika mereka kembali ke Kota Metro, semuanya berubah..
Fabian justru menjadi atasan langsung Vivin. Apakah itu hanya kebetulan atau kesengajaan Fabian?
Setelah beberapa pertemuan dan perjalanan bisnis, dia benar-benar takut.
Oleh karena itu, dia tidak punya pilihan selain mengeluarkan kartu As-nya.
Vivin, aku akan membuatmu tidak mungkin bisa bersama Fabian lagi!
Senin telah tiba. Setelah Vivin bangun dan bersiap-siap turun ke bawah untuk sarapan pagi, dia menerima telepon tak terduga dari rumah sakit.
“Apa?” Vivin berhenti di tengah tangga. “Seratus Lima puluh Juta? Apa obat itu dibutuhkan segera? Tidak, bukan karena saya tidak mampu membelinya. Baiklah buatkan saja resep obatnya. Aku akan mengambil uangnya hari ini.”
Vivin menutup telepon dan menghela nafas.
Setelah kondisi kesehatan ibunya semakin membaik, ibunya mulai mengonsumsi obat-obat mahal. Kebanyakan dari obat itu tidak ditanggung oleh asuransi, jadi Vivin harus berjuang untuk bisa membelinya.
Akan tetapi, ini menyangkut kehidupan ibunya, dia tidak punya pilihan selain menguatkan dirinya dan menelepon HRD.
“Maaf, tapi aku harus mengambil gajiku diawal. Bahkan Vivin merasa malu atas
permintaannya. “Tapi ibuku.. Oke, aku mengerti. Aku akan menunggu kabar darimu.
Η
Setelah menutup telepon, Vivin menghela nafas lagi sebelum menuju ke ruang makan.
Finno sedang makan bubur di sana. Ketika dia melihat Vivin, dia bertanya dengan tenang, “Ada apa?”